
Share on :
IKAN DAN KESEHATAN
Sebagai rangkaian pandemic Malaria pada 1950-an, di 1964 Presiden Soekarno menetapkan 12 November sebagai Hari Kesehatan Nasional. Ratusan ribu penduduk meninggal lantaran penyakit yang dibawa oleh nyamuk ini. Pada 1959 dibentuk instansi khusus, yakni Dinas Pembasmian Malaria, dan guna meningkatkan koordinasi dan efektivitas kegiatan, pada 1963 didirikan Komando Operasi Pemberantasan Malaria (KOPEM).
Dinamika telah terjadi pada semua aspek kehidupan, termasuk dalam sektor pangan. Semula banyak ditafsirkan, peningkatan ketersediaan pangan untuk menanggulangi kelaparan. Kini banyak fungsi pangan menjadi isu nasional. Sempat popular Pangan untuk Kesehatan, melalui kampanye Empat Sehat Lima Sempurna – nasi, lauk, sayur, buah plus susu. Belakangan ini, terutama untuk mengurangi gizi buruk dan problem stunting, makanan bergizi selain menyehatkan, juga mencerdaskan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam programnya Scalling-up Nutrition, menyasar ibu hamil agar mengkonsumsi makanan bergizi, terutama yang banyak mengandung protein, asam lemak tidak jenuh – seperti EPA (Eicosa Pentaenoic Acid), DHA (Docosa Hexanoic Acid), serta Omega-3. Hal tersebut di Indonesia populer dengan anjuran “Seribu Hari Pertama Kehidupan”(1000 HPK), bayi yang dikandung hingga usia dua tahun, adalah dalam kondisi 80% pembentukan otak, sehingga perlu asupan zat gizi tersebut, agar sang bayi menjadi insan cerdas.
Pada beberapa negara maju bahkan pangan bergizi dimaksudkan untuk memutus rantai kemiskinan. Kepada ibu hamil dari keluarga dibawah garis kemiskinan, diwajibkan mengonsumsi makanan bergizi gratis dari Pemerintah.Diharapkan sang jabang bayi kelak menjadi generasi cerdas, dantidak miskin seperti orang tuanya. Pada saat musim pandemic ini posisi pangan juga menjadi salah satu solusi guna memperkuat daya imun tubuh melawan virus, melalui makanan yang bergizi tinggi.
Pemanfaatan Ikan
Ikan terkenal sebagai penyuplai protein yang paling mudah dicerna. DItambah dengan kandungan asam lemak tak jenuh (EPA dan DHA) serta Omega-3 yang mencerdaskan, bahkan juga sebagai pangan bergizi. Vitamin A, B12, D, serta mineral Zinc, terbukti dapat meningkatkan system imun tubuh, melawan virus atau penyakit. Pada beberapa jenis tertentu, memiliki manfaat pula untuk hal-hal khusus, misalnya zat albuminnya bisa menolong orang diabetes, mineral kalsium sangat membantu penguatan tulang.
Faktor lain yang sangat nyata adalah kondisi geografis Nusantara, yang merupakan negeri kepulauan terbesar, berpantai termasuk yang terpanjang di dunia, serta wilayahnya Sebagian besar berupa Kawasan perairan. Kondisi tersebut tentu menjanjikan ketersediaan ikan yang sangat besar bagi masyarakat.
Dalam realita, pemanfaatan ikan untuk bahan pangan bergizi memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi. Pada 2018 yang lalu, produksi perikanan tangkap dan budidaya 12,8 juta ton. Apabila pada 2021 ditargetkan angka konsumsi makan ikan 58,10 kg per kapita per tahun, maka dibutuhkan sebanyak 13 juta ton.
Tingkat konsumsi ikan perlu didorong, karena ada beberapa masalah. Pertama, adalah selera konsumen. Setiap provinsi memiliki angka konsumsi ikan yang berbeda. Yogyakarta, Jawa Tengah dan Lampung, jauh dibawah angka rata-rata nasional, sedangkan Maluku, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara, konsumsi ikannya paling tinggi. Penyebabnya ada yang karena kultural, bahkan mitos untuk menolak makan ikan. Pemahamannya mengenai keunggulan nilai gizi ikan sangat kurang. Ada pula yang karena enggan terhadap bau ikan yang amis dan berduri.
Guna memecahkan masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan), dibantu oleh organisasi masyarakat seperti Forikan dan TP-PKK, sejak lima belas tahun yang lalu, aktif menyuluh tentang nilai gizi ikan yang menyehatkan dan mencerdaskan. Kementerian Kesehatan juga dalam program utamanya Gerakan Masyarakat Sehat (Germas), yang diantaranya menganjurkan makan bergizi seimbang, termasuk sayur, buah, dan ikan.
Masalah kedua adalah aspek ekonomi. Pada beberapa lokasi yang jauh dari sentra produksi ikan, ketersediaan jarang ada, ataupun harganya mahal. Begitu juga saat tidak musim ikan, atau paceklik. Nelayan pun tak jarang yang kurang mengonsumsi ikan, karena memilih dijual, kemudian membeli bahan pangan yang lebih murah, seperti tahu, tempe, atau mie instan. Untuk memecahkan masalah ini pemerintah mengusahakan memperbaiki system logistik, mendorong inovasi Teknik untuk distribusi, serta mengembangkan budidaya perikanan pada lokasi yang jauh dari tempat pendaratan ikan.
Permasalahan yang ketiga adalah problem susut dan limbah ikan(fish losses and waste). Persoalan ini menjadi isu global sejak 2011, Badan PBB: FAO dan UNEP membentuk Save Food Initiative. Permasalahan ini penyebabnya bisa karena unsur kesengajaan, atau karena penanganan, sehingga banyak ikan yang setelah diproduksi, ditangani, diolah, disimpan, distribusi dan sampai konsumen, telah berkurang secara fisik kualitas, nilai, termasuk gizinya. Di tingkat global, susut dan limbah ikan ini diperkirakan berjumllah sekitar 35%.
Menurut suatu kajian di Asia Selatan dan Asia Tenggara, susut dan limbah ikan terbesar alaha pada saat distribusi, yakni sekita 15%. Kemudian diikuti rantai saat pengolahan dan pengemasan 9%, produksi 8,2%, pascapanen 6%, dan dtangan konsumen 2%.
Untuk memecahkan masalah ini diperlukan edukasi cara penanganan yang baik sejak rantai produksi hingga sampai di konsumen; inovasi pengolahan hasil samping; serta penyuluhan mengenai gizi ikan. Pada 2018 sebuah organisasi internasional Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), Bersama Kemenkes, KKP, dan beberapa organisasi profesi telah membentuk Indonesia Postharvest Losses Alliance for Nutrition (I-PLAN), yang pada 2019 telah mandiri menjadi organisasi Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI). Upaya yang sudah dilakukan antara lainmendorong inovasi teknologi, bisnis, social, pelatihan dan kajian, yang terkait penanganan ikan dan gizi.
Oleh: Soenán Hadi Poernomo/ Ketua JP2GI