BIOTA UNIK YANG BERNILAI DAN BERGIZI TINGGI


Kita bersyukur dengan anugerah Tuhan berupa negeri kepulauan yang terbesar dan termasuk negara berpantai terpanjang di dunia. Dua pertiga wilayah Indonesia berupa perairan, serta berada di kawasan tropis yang hangat sepanjang tahun. Kondisi ini memberikan peluang banyak sumber daya alam kelautan yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa dan kemajuan negara. Salah satu biota laut bernilai tinggi sekaligus bergizi adalah lobster yang lezat, bergizi, unik, dan berharga mahal.

Berharga tinggi karena ketersediannya tidak dalam jumlah besar sebagaimana udang, yang relatif mudah di budidayakan. Biota, yang dalam khasanah biologi disebut Panulirus, dan oleh publik sering disebut udang karang, ini tempat hidupnya tidak semua di kawasan pesisir. Karena tingkat kelangsungan hidup (survival rate)-nya sangat rendah, menyebabkan biaya dalam budidaya produksinya relatif tinggi. Teknologi budidaya untuk pembesaran sudah banyak dikuasai, namun dalam fase awal untuk pemijahan, dari berupa telur higga berupa tetasan, masih belum berhasil dengan baik. Oleh karenanya, untuk mendapatkan benih lobster atau “benur” masih mengandalkan perolehan dari penangkapan di alam.

Kehidupan biota unik ini sangat dipengaruhi oleh dinamika oseanografi dan klimatologi. Lingkungan hidup di dasar laut berterumbu karang, air jernih, dan sanitasi tinggi.

Menurut organisasi pangan dan pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, FAO (Food and Agriculture Organization), pada tahun 2016 lobster yang dikonsumsi didominasi oleh hasil tangkapan di laut, yakni 326.155 ton (99,5 persen). Hasil usaha budidaya hanya 1.628 ton (0,5 persen). Sekitar 15 tahun yang lalu, 10 negara yang menghasilkan lobster alam terbesar secara beruntun adalah Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Bahama, Brazil dan Irlandia. Pada urutan kedelapan adalah Indonesia, yang selanjutnya diikuti Kuba dan Perancis.

Dari 79 spesies di seluruh dunia, yang hidup di perairan Indonesia ada enam jenis; yang paling terkenal adalah Lobster Mutiara dan Lobster Pasir. Adapun lainnya yaitu Lobster Batu, Lobster Bambu, Lobster Pakistan, dan Lobster Batik atau Lobster Kipas. Daerah-daerah di Nusantara yang menghasilkan Lobster adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), selatan Jawa, barat Sumatera, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara. Pada beberapa kawasan di Kalimantan Barat, Maluku dan Papua juga dapat diperoleh komoditi ini.

 

LIMA UPAYA

Menurut suatu kajian, benih lobster, apabila dibiarkan hidup di alam, yang berhasil mencapai ukuran konsumsi, diduga hanya 0.01 persen. Oleh karenanya, upaya penguasaan teknologi budidaya benih lobster alam hingga dewasa adalah suatu alternatif yang sangat positif.

Masyarakat pesisir di NTB sudah mulai melakukan budidaya pembesaran lobster dari benih alam, menggunakan keramba jaring apung, sejak tahun 1990. Bahkan pada tahun 2001 pernah diselenggarakan pelatihan budidaya pembesaran lobster bagi 500 orang nelayan. pada tahun 2004, untuk produksi lobster ukuran konsumsi 600gr per ekor bisa dihasilkan 80 ton/tahun, pada tahun 2014 sudah meningkat dua kali lipat, yakni sekitar 160 ton/tahun. Biaya produksinya juga lumayan tinggi, terutama untuk biaya pakan berupa ikan rucah. Jenis ikan ini bersaing dengan fungsinya di banyak tempat, laku bagi konsumsi masyarakat.

Guna meningkatkan pemanfaatan lobster ini kiranya diperlukan lima upaya. Pertama, dilakukan kajian tentang kondisi lingkungan, kehidupan dan potensi lobster di berbagai lokasi di perairan Indonesia. Hasil kajian yang akurat digunakan sebagai landasan penetapan pengelolaan dan pengendalia, agar biota yang bernilai ekonomis tinggi ini dapat dimanfaatkan untuk masyarakat dan negara, namun kelestariannya dapat dijaga.

Kedua, kebijakan yang ditetapkan harus jelas paa masing-masing lokasi, dengan pengendalian dan pegawasan yang tegas, sehingga dapat mencegah terjadinya penangkapan dan bisnis benih atau lobster dewasa secara illegal.

Upaya yang ketiga adalah terus meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi pembudidayaan lobster , baik pemijahan maupun pembesaran.

Yang keempat adalah pengembangan sarana dan prasarana produksi ataupun bisnis lobster. Tidak sedikit usaha budidaya yang terkendala oleh ketiadaan fasilitas listrik, atau lingkungan perirannya tercemar. Adapula yang berhasil melakukan budidaya, namun ada masalah jauh dari lokasi pemasaran.

Yang terakhir, untuk meraih kebaikan yang maksimal bagi bangsa dalam dimensi jangka panjang, sebaiknya penangkapan benih lobster yang terkendali tersebut hanya diizinkan untuk budidaya lobster di dalam negeri, tidak untuk ekspor. Sumber daya alam perairan ini kita niatkan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, dengan tetap menjaga kelestariannya. Ungkapan Bahasa latin “Omme vivum ex oceanis” (kehidupan berasal dari laut) memang ada benarnya. Sumber daya bahari harus dimanfaatkan, sekaligus dilestarikan.

 

Oleh: Soenán Hadi Poernomo/ Ketua JP2GI