
Share on :
PANGAN SEHAT NEGERI BAHARI
Tanggal 12 November 1959, Presiden Soekarno secara simbolis melakukan penyemprotan Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) di desa Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, ratusan ribu korban jiwa meninggal lantaran penyakit yang dibawa nyamuk ini. Penyemprotan disinfektan dilakukan, terutama di Jawa, Bali dan Lampung, dibarengi dengan penyuluhan hidup sehat.
Lima tahun kemudian, sekitar 63 juta penduduk terlindungi dari ancaman penyakit malaria. Untuk mengenang rangkaian upaya melawan pandemic tersebut, pada tahun 1964 Presiden Soekarno menetapkan tanggal 12 November sebagai Hari Kesehatan Nasional.
Sektor Kesehatan, sebagaimana bidang-bidang yang lain, memiliki dinamika. Pada masa itu, ada kesan seolah bidang kesehatan hanya terfokus pada upaya pencegahan penyakit terutama penyakit yang dibawa atau disebabkan oleh mikroba dan pengobatan yang diberikan kepada masyarakat. Zaman berubah, wawasan dan persepsi masyarakat pun berkembang dan semakin kompleks. Masyarakat diedukasi secara massif untuk mewujudkan kondisi sehat, menjalani pola hidup yang baik, rajin berolahraga, memperhatikan kebersihan lingkungan, berpola pikir tanpa stres, dan mengonsumsi cukup pangan yang bergizi.
Dinamika juga terjadi di sektor pangan. Semula banyak ditafsirkan, peningkatan ketersediaan pangan adalah untuk menanggulangi kelaparan. Persepsi masyarakat berubah, kini banyak fungsi pangan menjadi isu nasional. Sempat popular “Pangan untuk Kesehatan”, melalui kampanye “Empat Sehat Lima Sempurna” – nasi, lauk, buah, sayur, plus susu.
Untuk memerangi gizi buruk dan problem stunting, kini meluas persepsi bahwa makanan bergizi disamping menyehatkan, juga mencerdaskan. Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui program Scalling-Up Nutrition, menyasar ibu hamil, agar mengonsumsi makanan bergizi, terutama yang mengandung banyak protein, asam lemak tak jenuh, seperti Eicosapentaenoic acid (EPA), Docosahexaenoic acid (DHA), serta Omega-3. Program serupa di Indonesia popular dengan anjuran Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), yang mempersiapkan bayi sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun, yang berada dalam kondisi 80 persen pembentukan otak, sehingga perlu asupan zat gizi, agar bayi menjadi instan cerdas.
Banyak negara maju yang memprogramkan pangan bergizi dengan tujuan untuk memutus rantai kemiskinan. Kepada ibu hamil dari keluara dibawah garis kemiskinan, diwajibkan mengonsumsi makanan bergizi gratis dari pemerintah. Diharapkan jabang bayi kelak menjadi generasi cerdas, dan tidak miskin seperti orang tuanya.
Di era pandemic ini posisi pangan juga menjadi salah satu solusi guna memperkuat daya imun tubuh melawan virus, melalui makanan yang bergizi tinggi. Salah satu komoditi yang dianjurkan adalah ikan, yang kaya protein, asam lemak tak jenuh, beberapa vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi penguatan imun system. Sebagai ilustrasi, saya tulis lirik lagu anjuran meningkatkan pemanfaatan ikan untuk gizi masyarakat, yang menggunakan nada-nada tembang karya Sunan Bonang, yakni tombo ati.
Melawan covid itu ada lima amalan.
Yang pertama, pakai masker mencegah kuman.
Yang kedua, menjaga jarak dan kerumunan.
Yang ketiga, tak pernah lupa mencuci tangan.
Yang keempat, kita terapkan gizi seimbang.
Dan tentu saja jangan lupa makan ikan.
Yang terakhir, slalu berdoa kepada Tuhan.
Bangsa kita, sehat dan maju, sepanjang zaman.
IKAN DAN KESEHATAN
Pada tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 21 November sebagai Hari Ikan Nasional, bersamaan dengan World Fisheries Day. Memang sebagai negeri kepulauan yang terbesar di dunia, termasuk memiliki panta terpanjang di dunia, dan wilayahnya Sebagian besar berupa perairan, posisi ikan sebagai pangan andalan pembentuk Kesehatan masyarakat, tentu tak terbantahkan.
Ikan dikenal sebagai penyuplai protein yang paling mudah dicerna. Ditambah dengan asupan asam lemak tak jenuh (EPA dan DHA) serta Omega-3 yang mencerdaskan, bahkan juga membantu menghindari serangan jantung. Vitamin A, B12, D, serta mineral Zinc, terbukti dapat meningkatkan system imun tubuh, melawan virus atau penyakit. Beberapa jenis ikan tertentu memiliki manfaat pula untuk hal-hal khusus, misalnya zat albuminnya bisa menolong orang diabetes, mineral kalsiumnya sangat membantu penguatan tulang.
Namun harus dipahami pula, pemanfaatan ikan untuk bahan pangan bergizi menghadapi banyak tantangan. Pada tahun 2018 yang lalu, produksi perikanan tangkap dan budidaya mencapai 12,8 juta ton. Apabila pada tahun 2021 ditargetkan angka konsumsi makan ikan 58,10 kg/kapita/tahun, maka dibutuhkan sebanyak 13 juta ton.
Permasalahan dalam hal konsumsi ikan ada beberapa aspek. Pertama selera konsumen. Setiap provinsi memiliki angka konsumsi ikan yang berbeda. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Lampung jauh dibawah angka rata-rata nasional, sedangkan Maluku, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara, konsumsi ikannya paling tinggi. Penyebabnya ada yang karena budaya, bahkan mitos untuk menolak makan ikan. Pemahamannya mengenai keunggulan nilai gizi ikan sangat kurang. Ada pula yang karena enggan terhadap bauikan yang amis dan berduri.
Terkait dengan hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN), dibantu oleh organisasi masyarakat seperti Forum Peningkatan Konsumsi Ikan (FORIKAN) danTim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK), sejak 15 tahun yang lalu aktif menyuluh tentang nilai gizi ikan yang menyehatkan dan mencerdaskan. Kementerian Kesehatan dalam program utamanya, Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS), juga menganjurkan makan bergizi seimbang, termasuk sayur, buah dan ikan.
Kedua, aspek ekonomi. Pada beberapa lokasi yang jauh dari sentra produksi ikan, ketersediaan jarang ada, ataupun harganya mahal. Begitu juga saat tidak musim ikan, atau paceklik. Nelayan pun tidak jarang yang kurang mengonsumsi ikan, karena memilih untuk dijual, kemudian membeli bahan pangan yang lebih murah, seperti tahu, tempe, atau mie instan. Untuk memecahkan masalah ini, pemerintah mengusahakan memperbaiki system logistic, mendorong inovasi Teknik untuk distribusi, serta mengembangkan budidaya perikanan di lokasi yang jauh dari tempat pendaratan ikan.
Factor yang ketiga adalah problem susut dan limbah ikan (fish losses and waste). Persoalan ini menjadi isu global sejak tahun 2011, hingga Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui Food and Agriculture Organization (FAO) dan United Nations Environment Programme (UNEP), membentuk Save Food Initiative. Permasalahan ini penyebabnya bisa karena unsur kesengajaan, atau karena salah penanganan, sehingga banyak ikan yang setelah diproduksi, ditangani, diolah, disimpan, distribusi dan sampai konsumen, telah berkurang secara fisik, kualitas, nilai, dan gizinya. Ditingkat global, susut dan limbah ikan ini diperkirakan berjumlah sekitar 35 persen. Menurut suatu kajian di Asia Selatan dan Asia Tenggara, susut dan limbah ikan terbesar adalah pada saat distribusi, yakni sekitar 15 persen. Kemudian diikuti rantai saat pengolahan dan pengemasan 9 persen, produksinya 8,2 persen, pasca panen 6 persen, dan ditangan konsumen 2 persen.
Untuk memecahkan masalah ini diperlukan edukasi mengenai cara penanganan yang baik sejak rantai produksi hingga sampai di konsumen, inivasi pengolahan hasil samping, serta penyuluhan mengenai gizi ikan. Pada tahun 2018 sebuah organisasi internasional Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan beberapa organisasi profesi telah membentuk Indonesia Postharvest Loss Alliance`for Nutrition (I-PLAN), yang pada tahun 2019 telah mandiri sebagai organisasi Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI). Upaya yang sudah dilakukan antara lain mendorong inovasi teknologi, bisnis dan social, serta pelatihan dan kajian yang terkait penanganan ikan dan gizi. Hal yang lebih penting lagi adalah memperkuat jejaring antara pihak yang terkait, agar lebih efektif dalam berkoordinasi, menghadapi tantangan bersama untuk menyehatkan masyarakat.
Semoga segala upaya tersebut dapat meningkatkan pemanfaatan ikan untuk gizi masyarakat, sebagaimana pepatah barat: Success come to those who make it happen, not to those who let it happen (Sukses dating kepada mereka yang mewujudkannya, bukan mereka yang membiarkannya terjadi).
Oleh: Soenán Hadi Poernomo/ Ketua JP2GI