Share on :
Susut dan Limbah Ikan
Tantangan yang tidak kecil, diantaranya adalah masalah kesehatan. Terlebih saat ini, baik pribadi, kelompok masyarakat, skala bangsa dan negara, bahkan atensi global, tertuju pada pandemi Covid-19. Permasalahan kesehatan disamping menuntut aspek pencegahan dan pengobatan, dimensi yang tidak bisa diabaikan adalah permasalahan gizi. Publik sangat memahami, bahwa kekurangan gizi bisa membuat tidak sehat, dan daya imun sistemnya juga lemah.
Salah satu indikator yang popular kekurangan gizi adalah kondisi anak dibawah usia lima tahun mengalami stunting dan wasting. Kurangnya tinggi badan dari standar berdasarkan usia, yang disebut stunting ini, di Indonesia menurut Global Nutrition Report adalah 30,8%. Lebih tinggi dari rata-rata di Asia, yakni 21,8%. Wasting, rendahnya berat badan dibanding dengan standar tinggi badan, di Indonesia 10,2%-- juga lebih tinggi dari rerata di Asia 9,1%.
Kurangnya gizi seseorang disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari selera pribadi, ketidakpahaman, faktor ekonomi, ketersediaan pangan nutrisi tinggi, dan lain-lain. Terkait ketersediaan ini tidak terlepas dari faktor susut dan limbah pangan. Oleh karenanya masyarakat global sejak tahun 2011 tertarik memperhatikan problem serius ini. Badan PBB: FAO dan UNEP membentuk Save Food Initiative.
Pada tahun berikutnya McKinsey Global Institute (MGI) mengadakan kajian. Dalam laporannya disebutkan bahwa susut hasil produk pertanian di Indonesia dalam satu tahun adalah 30 juta ton, atau 20% dari total produksi. Adapun produk perikanan adalah 1,8 juta ton, 30% dari total produksi.
Susut pangan (food losses) banyak terjadi di negara berkembang, yakni berkurangnya berat (susut fisik), susut gizi (nutrisi), dan susut nilai (harga)---seringkali pada tahap produksi, pengolahan, penyimpanan, pemasaran, distribusi, hingga konsumen. Limbah pangan (food waste) banyak terjadi dinegara maju---pada restoran, catering, dan rumah tangga.
Pada sektor perikanan, banyak terjadi pula limbah ikan yang terjadi saat produksi atau penangkapan ikan. Hal tersebut karena pertimbangan ekonomis. Pada penangkapan udang yang menggunakan pukat tarik, udang yang berharga mahal, proporsinya hanya 20% dari hasil tangkap lainnya. Untuk pertimbangan ekonomis, daripada palkahnya dipenuhi ikan rucah yang harganya relatif lebih murah, maka hasil samping (side project) tersebut dibuang.
Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) pernah mengaitkan antara susut dan limbah ikan dengan kebutuhan protein. Organisasi internasional ini mengasumsikan Indonesia kehilangan 75.000 ton sampai 125.000 ton susut dan limbah ikan per tahun. Sesuai dengan kadar protein dalam ikan, maka berarti kehilangan 16.500 hingga 27.500 ton protein 17 – 20 gram per hari. Ibu hamil, memerlukan lebih dari 20 gram per hari. Maka susut dan limbah ikan tersebut adalah setara dengan kebutuhan protein untuk 2,7 juta sampai dengan 4,4 juta anak selama satu tahun.
Tahun lalu surat kabar internasional The Economist mengungkapkan kondisi susut dan limbah pangan dunia, yang jumlahnya dalam satu tahun sebanyak 1,3 miliar ton, atau setara dengan 750 miliar dolar AS. Indonesia termasuk peringkat kedua terburuk dalam masalah susut dan limbah pangan, yakni rata-rata 300 kg per orang setiap tahun. Negara yang paling besar adalah Saudi Arabia, 427 kg/orang/tahun. Setelah Indonesia ada Amerika Serikat, 277 kg/orang/tahun, dan Uni Emirat Arab, 196 kg/orang/tahun. Negara yang terbaik dalam menanganimasalah susut dan limbah pangan adalah Prancis, Australia, dan Afrika Selatan.
UPAYA INOVATIF
Sehubungan dengan cari solusi susut dan limbah ikan, GAIN Bersama Kementerian Kesehatan, di dukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, asosiasi rantai pendingin, asosiasi pengolahan, dan pemasaran ikan, ahli gizi, akademisi dan lain-lain, pada tahun 2018 membentuk Indonesia Postharvest Losses Alliance for Nutrition (I-PLAN), yang kemudian pada 2019 berubah menjadi organisasi mandiri Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI).
Berbagai kegiatan telah dilaksanakan, diantaranya adalah lomba inovasi teknologi, tata bisnis, makanan siap saji, dan pola peningkatan gizi masyarakat. Pelatihan yang dilaksanakan adalah manajemen bisnis bagi innovator dan UMKM, serta pengembangannya. Juga meningkatkan keterampilan menangani ikan secara baik dan pemahaman mengenai gizi ikan. Akhir tahun lalu dilakukan rintisan kajian mengenai susut hasil dan gizi masyarakat.
Kajian kerjasama antara JP2GI dan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), KKP, awalnya direncanakan pada 15 lokasi yang tersebar di wilayah Indonesia. Karena permasalahan suasana pandemik, akhirnya yang bisa melaksanakan secara utuh hanya pada 9 lokasi, yaitu Balai Besar Riset Pengolahan dan Bioteknologi KP di Jakarta, Balai Riset di Maros (Sulsel), Balai Pelatihan dan Penyuluhan di Medan (Sumut), serta beberapa Politeknik Kelautan dan Perikanan di Pangandaran (Jabar), Sidoarjo (Jatim), Jembrana (Bali), Kupang (NTT), Sorong (Papua), dan Bitung (Sulut).
Hasil yang dicapai menunjukan rata-rata susut hasil di nelayan adalah 4,7%, pada pedagang pengumpul di Tempat Pendaratan Ikan 3,18%, pedagang pengecer 2,35%, dan pengolah 1,7%. Adapun limbah ikan yang terbuang adalah rata-rata di rumah makan 4%, catering 3,89%, rumah tangga 9,35%. Mengingat saat pandemi ini produksi dan kegiatan perikanan banyak menurun, serta pelaksanaan kajian juga jauh dari sempurna, maka hasilnya juga belum sesuai dengan yang di harapkan.
Akan tetapi karena permasalahan susut hasil dan limbah pangan---terutama ikan, sayur, dan buah (perishable food) perlu ditangani dengan baik dan selama ini terabaikan, maka alangkah eloknya kalau Pemerintah, baik pusat maupun daerah, bekerjasama dengan akademisi dan dunia industri, melakukan kajian, pelatihan serta edukasi lainnya. Dengan demikian maka Nusantara sebagai negeri maritim dan agraris ini bisa menangani produknya secara baik, untuk ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, bahkan pelestarian lingkungan (environment).