Share on :
Perang Melawan COVID 19 : Waspadai Kesehatan dan Gizi Ibu – Anak
Data statistik gender korban COVID19 dunia menunjukkan bahwa korban meninggal laki-laki lebih banyak dari perempuan. Bahkan menurut NYT (7/4) di kota New York korban meninggal virus COVID19 laki-laki dua kali lipat dari perempuan. Para ahli belum dapat menjelaskan dengan gamblang mengapa begitu. Prof.Philip Guilder, ahli imunologi dari Universitas Oxford menjelaskan dari segi genetik, perempuan mempunyai daya imunitas dua kali lebih kuat dari pada laki-laki. Namun juga karena faktor perilaku, laki-laki lebih banyak merokok daripada perempuan. Perokok umumnya mempunyai masalah jantung dan paru-paru. Karena itu mereka rentan terhadap infeksi COVID19. Namun Guilder tidak dapat memastikan apakah kedua faktor itu bekerja sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Dengan data itu tidak berarti bahwa perempuan, dalam perang melawan COVID19, dijamin lebih sehat dan bebas dari ancaman COVID19 dan atau ancaman masalah kesehatan lain. Dampak pandemi pada kemiskinan merupakan ancaman kesehatan keluarga dan masyarakat pertama tama karena menurunkan nilai gizi makanan. Hal tersebut terkait dengan dampak kemiskinan dan gangguan ketahanan pangan.
Bank Dunia mengingatkan G20 yang bersidang di Arab Saudi, bahwa Pandemi mengancam ketahanan pangan negara miskin (BusinessNews 21/4). Demikian juga menurut Menteri Pertanian yang hadir dalam sidang tersebut, pandemi berpotensi mengganggu sistem pangan Indonesia. Gangguan sistem pangan yang dirasakan rakyat adalah ujung atau hilir dari sistem ketahanan pangan yaitu kelangkaan, kenaikan harga dan konsumsi, terutama bahan pangan pokok kebutuhan rakyat. Bagi rakyat miskin bahan pangan pokok yang dimaksud terdapat dalam paket sembako, yaitu beras, telor (kadang-kadang ikan kaleng, ayam), gula, minyak goreng, garam, dan kue-kue kering.
Bagi rumah tangga miskin, kenaikan harga pangan pokok berarti pola makan keluarga harus disesuaikan. Sebelum pandemi mungkin masih beraneka ragam sesuai pedoman gizi seimbang. Selama pandemi terpaksa menurun nilai gizinya karena telur, ikan, sayur dan buah berkurang atau menghilang tak terjangkau daya beli. Pola makan berubah mengutamakan makanan yang mengenyangkan tetapi tetap enak dan terjangkau. Yaitu nasi dengan “lauk” mie, goreng tempe atau ikan asin, krupuk putih, dan sambal, dengan nyamikan singkong goreng, ubi goreng atau goreng-gorengan lain, ditutup dengan kopi atau teh manis atau aneka ragam minuman manis lain dari warung dekat rumah.
Pola makan yang semula beraneka ragam, berubah menjadi berpusat pada sumber kalori dari karbohidrat (beras, tepung, gula) dan lemak (minyak goreng). Pola makan diatas adalah pola makan universal keluarga miskin tidak hanya orang miskin Indonesia. Headly dan Ruel penulis Blog IFPRI (23/4) Washington “The COVID 19 Nutrition Crisis: What to expect and how to protect” menyebut bahwa sumber kalori orang miskin sebagai kalori murah ("cheap calorie"), karena berasal dari sumber karbohidrat dan lemak yang relatif murah. Tetapi tidak atau sedikit mengandung protein, vitamin dan mineral. Prof. Marion Nestle (bukan merek susu), dari Universitas Cornell, dalam bukunya “Why Calorie Count From Science to Politics “(2012) menyebutnya sebagai kalori kosong (“Empty Calorie”).
Pola makan dengan kalori murah atau kalori kosong adalah sumber masalah kelaparan tersembunyi atau “hidden hunger” (Kompas 26/2/18). Karena sifatnya tersembunyi, masalah hidden hunger belum banyak disadari oleh masyarakat, sebagai masalah kesehatan dan gizi yang serius. Baru setelah konperensi dunia 1991 di Montreal, Canada, tentang “Ending Hidden Hunger”, dunia sadar bahwa masalah ini lebih luas dan lebih serius dari kurang protein. Sampai hampir tiga dekade sesudah Montreal, hidden hunger masih menjadi masalah gizi utama dunia.
Beberapa media internasional menguatirkan terjadinya bencana kelaparan akibat pandemi, terutama di Afrika. NYT (22/4) menurunkan berita yang menakutkan “Instead of Coronavirus, the Hunger Will Kill Us”. Beberapa studi gizi dampak krisis ekonomi di Indonesia 1998 tidak menemukan adanya kelaparan. Kalaupun ada di beberapa daerah terpencil di Indonesia bagian timur akibat kemarau panjang yang bersamaan waktunya dengan krisis ekonomi. Namun ditemukan meningkatnya angka kurang gizi pada ibu hamil, dan balita sejalan dengan meningkatnya angka kemiskinan. Laporan Bappenas dan USAID, yang ditulis oleh Peter Timmer dan kawan-kawan (1/2003) berjudul “Macro Shocks and Micro (scopic) Outcomes on Child Nutrition During Indonesia Economic Crises 1998, melaporkan terjadinya apa yang mereka 3 sebut sebagai “micronutrients crises”). Krisis kurang vitamin dan mineral dalam bentuk anemi (kurang zat besi), kurang vitamin A, dan lain-lain, seperti halnya yang dilaporkan oleh studi lain.
Beberapa media bulan April lalu memberitakan adanya seorang perempusn dari Serang meninggal diduga karena kelaparan. Pembaca ada yang berspekulasi bahwa pandemi akan membawa bencana kelaparan. Bersyukur ada berita yang menyatakan bukan karena kelaparan. Menurut pengalaman saya sebagai mahasiswa gizi yang berparaktek di daerah “gudang” kelaparan (HO) di Gunung Kidul dan di Lombok Barat tahun 1950/60an, kematian karena bencana kelaparan akibat kemarau panjang dan kemiskinan, tidak terjadi satu satu, tetapi serentak beberapa orang, kebanyakan orang tua.
Dengan masifnya bantuan sosial sembako dan lain lain dari pemerintah dan masyarakat untuk orang dan keluarga miskin atau baru miskin, saya tidak percaya pandemi Indonesia akan berdampak kelaparan. Dengan catatan bahwa bantuan itu efektif sampai, tepat sasaran dan tepat waktu. Tidak ada orang yang tercecer, atau bahasa SDGsnya “no one left behind”. Menurut saya tidak akan terjadi kelaparan tetapi akan terjadi kenaikan jumlah ibu dan anak yang kelaparan tersembunyi (hidden hunger) karena kalori kosong yang saya sebut diatas. Terutama kekurangan zat iodium (I), zaf besi (Fe), zat seng (Zn), Asam Folat, vitamin A, vitamin B1 dan vitamin B2. Itulah vitamin dan mineral yang oleh WHO dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat di negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Apabila masalah itu terjadi pada ibu hamil dan bayi sampai usia dua tahun, yang dikenal sebagai masa emas 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK), dapat berdampak jangka panjang pada anak akibat gangguan tumbuh kembang anakanak dapat menjadi stunting, yang sejak tahun 2013 menjadi keprihatian negara miskin dan berkembang.
Karena berbagai hal diatas , dalam perang melawan COVID 19 sudah selayaknya bila kita waspadai kesehatan dan gizi ibu dan anak. Selain harus sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, jaga jarak, dan sebagainya diusahakan untuk dapat memenuhi anjuran makan gizi seimbang. Usahakan setidaknya ada telur, sayur dan buah sebagai tambahan yang ada di sembako. Bersyukur kalau bahan pangan pokok di sembako dipilih yang di-fortifikasi, sehingga sumber kalorinya tidak kosong.
Peran fortifikasi mengatasi kalori kosong
Dalam bukunya Aya Hirata Kimura, Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Foods (Cornell University Press, 2018), dibahas peran fortifikasi untuk mengatasi hidden hunger. Kata “smarter foods” yang dimaksud pada buku itu adalah makanan yang difortifikasi. Buku setebal 225 halaman, mendalami sejarah munculnya jargon “hidden hunger” dan peran fortifikasi pangan dibeberapa Negara Asia termasuk Indonesia ditahun 2004. Dia mengikuti sejarah perkembangan fortifikasi tepung terigu Bogasari, peran Koalisi Fortifikasi di Indonesia, peran pemerintah dan swasta dan lain-lain. Hirata mencatat peran fortifikasi saat terjadi krisis ekonomi Indonesia 1998. Waktu itu selain istilah hidden hunger juga populer jargon “lost generation” karena maraknya anak gizi buruk. Menarik dihalaman 43 dicantumkan daftar organisani internasioanl yang rame-rame membantu makanan anak , antara lain mie, bubur nasi, biskuit, susu kedele dan lain-lain yang difortifikasi. Waktu itu belum ada sembako, sehingga organisasi internasional yang turun tangan.
Fortifikasi di Indonesia resmi mulai dikenal setelah ada Undang Undang No 7 (1996) tentang Pangan, dengan pasal tentang fortifikasi. Sejak itu fortifikasi pangan berkembang dari garam dengan iodium (1994), tepung trigu (2001) dengan 5 vitamin dan mineral, dan minyak goreng sawit dengan vitamin A (2010), dan akhir-akhir ini (2019) fortifikasi beras dengan 5 vitamin dan mineral dikembangkan oleh Kementerian Pertanian dan Bulog.
Dalam era perang melawwan COVID19, beberapa organisasi international di Asia menyuarakan pentingnya fortifikasi bahan pangan pokok sebagai “critical weapon“ melawan COVID19 (Jakarta Post, 21/4) (Asia News Network, 26/4). “Senjata” itu secara potensial ada di Indonesia. Empat bahan pangan pokok beras, tepung terigu, sebagian minyak goreng, dan garam sudah difortifikasi. Pertanyaanya apakah bahan pangan pokok yang difortifikasi tersebut sudah menjadi atau setidaknya dipertimbangkan untuk menjadi komditi sembako. Secara teoritis seharusnya sesuai SNI Wajib ketiga komoditi sembako – garam, tepung trigu, dan minyak goreng- tahun 2020 semuanya sudah difortifikasi. Dengan otomatis, ke-3 komoditi pokok sembako tersebut sudah berfortifikasi. Namun dalam praktek masih dipertanyakan apa saat pandemi ini ketiga komoditi itu sudah berfortifikasi. Untuk beras karena belum wajib fortifikasi, pasti belum semua difortifikasi, arinya harus menjadi pilihan – yang difortifikasi atau tidak difortifikasi. Agar Sembako tidak hanya berisi kalori kosong (sedikit atau tanpa vitamin dan mineral) alangkah eloknya apabila potensi bahan pangan pokok yang seharusnya sudah berfortifikasi, dimanfaatkan. Dari koran saya tahu hanya garam beriodium yang masuk paket sembako. Apabila yang lain belum, perlu dipertanyakan mengapa.
Untuk tambahan pengetahauan kita akan fortifikasi. Fortifikasi pangan tidak merubah rasa dan warna.Tetap disukai konsumen. Seharusnya tidak menambah harga. Bagi penyelenggara bantuan sembako, seharusnya tidak ada beban tambahan dana, tenaga dan waktu dalam pengeloannya. Masalanya hanya pilihan komoditi, difortfkasi atau tidak difortifikasi. Ada dua jenis fortifikasi. Fortifikasi untuk keperluan bisnis dengan komoditi pangan yang bervariasi ditentukan oleh produsen. Kedua fortifikasi yang menjadi bagian program pemerintah untuk perbaikan gizi masyarakat atas dasar Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang dipertegas dengan Peratutan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, komoditi pangan terbatas pada kebutuhan pokok rakyat. Dilihat dari aspek dana menurut para pakar ekonomi di Bank Dunia, investasi untuk fortifikasi adalah “the most cost effective”. **
Oleh: Soekirman, Guru Besar (Emiritus IPB)/Guru Besar Tidak Tetap Fakultas Kedokteran, UKI, Jakarta
*sumber: Kompas