Pangan Bergizi Melawan Kemiskinan


Penulis: Soen’an Hadi Poernomo/Editor: Syamdidi

 

Jakarta, JP2GI -- Telah menjadi pemahaman yang umum, bahwa pangan adalah merupakan kebutuhan pokok kehidupan. Tidak hanya untuk menghindari kelaparan, lebih dari itu, juga untuk kesehatan, kecerdasan dan melawan kemiskinan. Bidang Kesehatan dulu terkesan hanya terfokus pada upaya pencegahan dan pengobatan yang terjadi di masyarakat. Terutama penyakit yang dibawa atau disebabkan oleh mikrobia. Kini terjadi perkembangan wawasan dan persepsi. Masyarakat diedukasi secara massif untuk mewujudkan kondisi sehat, diperlukan pola hidup yang baik,-- suka berolahraga, memperhatikan lingkungan bersih, berpola pikir tanpa stress, dan mengkonsumsi cukup pangan bergizi.  

Dalam sektor pangan itu sendiri, yang semula banyak ditafsirkan, peningkatan ketersediaan pangan adalah untuk menanggulangi kelaparan, kini banyak fungsi pangan menjadi isu nasional. Sempat populer “Pangan untuk Kesehatan”, melalui  kampanye Empat Sehat Lima Sempurna—nasi, lauk, buah, sayur, plus susu.  Untuk memerangi gizi buruk dan problem stunting, kini meluas persepsi bahwa makanan bergizi disamping menyehatkan, juga mencerdaskan. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam programnya Scaling-up Nutrition, menyasar ibu hamil, agar mengkonsumsi makanan bergizi, terutama yang banyak mengandung protein, asam lemak tidak jenuh—seperti EPA (Eicosa Pentaenoic Acid), DHA (Docosa Hexanoic Acid), serta Omega-3. Program serupa di Indonesia, populer dengan sebutan “Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)”—sebuah upaya pembentukan generasi Indonesia cerdas melalui pemberian asupan nutrisi lengkap selama 1000 hari pertama sejak bayi di kandungan sampai usia 2 tahun. Pada periode ini 80% otak manusia dibentuk dan berkembang.

Amerika Serikat pada tahun 1972 sudah memulai lebih dulu lewat program WIC, yakni Women, Infants and Children. Tujuannya adalah untuk memutus rantai kemiskinan dengan menyediakan bantuan makanan gratis bagi ibu hamil dari keluarga di bawah garis kemiskinan. Diharapkan sang jabang bayi kelak menjadi generasi cerdas, dan tidak miskin seperti orang tuanya.

Melahirkan Generasi Unggul

Nusantara di kawasan tropis yang hangat sepanjang tahun, terdiri dari banyak pulau dengan curah hujan yang cukup, tentu tidak akan mengalami kesulitan untuk menyediakan pangan bergizi bagi bangsanya. Apalagi Nusantara kaya akan hamparan lahan pertanian dan perikanan.

Apabila dimaksudkan untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas, tentu diperlukan protein, vitamin, mineral, juga asam lemak tak jenuh. Protein dapat diperoleh dari pangan hewani dan kacang-kacangan. Telor mengandung asam amino yang paling lengkap. Dibandingkan sumber pangan lainnya, ikan memiliki kelebihan yaitu proteinnya mudah dicerna dan sumber omega-3 untuk kecerdasan. Susu segar sangat baik bagi anak-anak. Vitamin dan mineral terkandung di sayur dan buah dengan ketersediaan yang melimpah di negeri ini. Berbagai nutrisi tersedia juga di daging unggas atau hewani lainnya, serta kacang-kacangan.

Pemanfaatan pangan bergizi tersebut memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi. Pertama, adalah selera konsumen. Setiap provinsi memiliki selera konsumsi yang bisa berbeda. Penyebabnya ada yang karena kultural, bahkan terkadang ada mitos untuk menolak makan tertentu. Pemahamannya mengenai keunggulan nilai gizi masih kurang. Karenanya, perlu edukasi tentang pangan bergizi yang menyehatkan dan mencerdaskan.

Tantangan yang kedua adalah ketersediaan bahan pangan tersebut. Pada beberapa lokasi yang jauh dari sentra produksi, ketersediaan bahan pangan bergizi yang dibutuhkan jarang ada, ataupun harganya mahal. Begitu juga saat tidak musim, atau paceklik. Untuk memecahkan masalah ini pemerintah mengusahakan perbaikan sistem logistik, serta mendorong inovasi teknik untuk distribusi.

Hal yang ketiga adalah problem ekonomi. Banyak peternak menjual susu atau telor yang diproduksi, tapi keluarganya tidak mengkonsumsinya. Semua dijual, hasilnya untuk membeli makanan yang harganya lebih murah, tanpa memperhitungkan gizinya. Begitu juga petani yang menghasilkan buah dan sayur, atau nelayan yang menangkap ikan. Mereka memilih menjual hasil jerih payahnya untuk memperoleh uang, akan tetapi mengabaikan pentingnya mengkonsumsi pangan bergizi.

Sebagai solusi masalah kemiskinan seperti ini perlu program Affirmatif Action, atau keberpihakan dari pemerintah. Ambil contoh sebelumnya, Amerika Serikat dengan program WIC-nya, pemerintah memberikan makanan gratis bagi ibu hamil yang miskin. Setiap bulan, diperiksa darahnya untuk memastikan dampak positif. Hal ini untuk mencegah, jangan sampai makanan yang diperoleh sasaran program tersebut dijual, atau diberikan kepada yang lain. Bila demikian, tujuan program agar ibu hamil miskin tersebut sehat dan bayinya cerdas, setelah remaja berkualitas, dan pada akhirnya terputus rantai kemiskinan—gagal, tidak tercapai.

Rupanya di Indonesia juga sudah ada Pemerintah Daerah yang berinovasi positif. Pada tahun 2018, Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah menyelenggarakan program mirip WIC tersebut. Penyuluh perikanan dan bidan mendata ibu hamil yang miskin. Setiap minggu Pemda memberi mereka ikan lele gratis, yang dibeli dari pembudidaya ikan setempat. Kini ditambah juga dengan jenis ikan nila. Hanya saja karena keterbatasan dana, tidak semua sasaran terfasilitasi. Pada setiap kecamatan, cuma dua kelurahan yang memperoleh bantuan. Dan bedanya dengan WIC, tidak dilakukan pemeriksaan darah, guna melihat efektivitas program. Pada tahun 2019, sasaran ibu hamil miskin yang dibantu tercatat 900 orang, tahun 2021 sudah berkembang sebanyak 1.560 orang.

Program positif seperti ini bisa diterapkan di daerah lain, untuk menyehatkan dan mencerdaskan generasi berikutnya, dan akhirnya memutus rantai kemiskinan. Disamping itu harus disertai juga pemahaman untuk menghindari pembuangan pangan yang masih layak dikonsumsi, sehingga secara sistemik dan peduli dapat beramal mulia membantu kelompok masyarakat lain yang membutuhkan. Success comes to those who make it happen, not to those who let it happen.***