DUNIA MELAWAN FOOD LOSS AND WASTE


Penulis: Soen’an Hadi Poernomo/Editor: Syamdidi

 

            Susut dan limbah pangan atau Food Loss and Waste (FLW) lebih dari lima tahun yang lalu telah menjadi perhatian dunia. Bahkan pada tahun 2019, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 29 September sebagai the International Day of Awareness of Food Loss and Waste (IDAFLW), guna mendorong sebagai gerakan masif menyadarkan masyarakat tentang pemahaman hal ini. Susut dan pembuangan pangan memberikan dampak negatif, antara lain ekonomi, gizi, sosial, dan lingkungan. Berbagai negara yang sudah serius menangani masalah ini antara lain Korea Selatan, Jepang, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Italia, Swedia, Kanada, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Cina. Strategi, kebijakan, program dan kegiatan mereka berbeda, sesuai dengan kondisi sosial, kultur, ekonomi dan politik masing-masing.

            Pemikiran ini bisa dimaklumi. Pada tahun 2020, Food and Agriculture Organization (FAO) mengestimasi 820 juta penduduk dunia menderita kelaparan dan sekitar 2 milyar mengalami kerawanan pangan tingkat sedang dan berat.Keadaan ini sangat kontradiktif dengan perilaku masyarakat yang banyak membuang makanan (food waste), termasuk yang masih layak dikonsumsi. United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan 17% pangan yang diproduksi, dibuang atau tidak dikonsumsi. Pada tahun 2019, dilaporkan total sekitar 931 juta ton makanan dibuang di tingkat pengecer dan konsumen. Dua tahun kemudian terinfokan, sisa pangan yang terbuang, 61% dari rumah tangga, 26% dari usaha jasa makanan, dan 13% oleh pedagang eceran.  Jenis makanan yang dibuang tersebut kebanyakan sayuran, buah, dan disusul ikan.

 

Reduksi FLW di Asia

            Pada tahun 2001, Jepang menetapkan Food Recycling Law (FRL) untuk menurunkan jumlah limbah pangan dan meningkatkan daur ulang yang menghasilkan pakan dan kompos. Pada tahun 2003 tingkat daur ulang mencapai 49%, dan tiga tahun kemudian melonjak 60%. Pada tahun 2007 dilakukan amandemen terhadap peraturan FRL tersebut. Pembuang limbah pangan wajib melaporkan jumlah sisa pangan yang didaur ulang, dan membeli produk pertanian, perikanan, atau peternakan, yang dibudidayakan menggunakan pakan atau kompos hasil daur ulangnya. Siklus bisnis ini terkenal dengan istilah Recycling Loops. Hal ini sangat menarik karena jelas membuat ekonomi efektif, serta mengurangi emisi gas rumah kaca.

            Pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan, serta didukung 6 kementerian lainnya, mengangkat motto “No Food Loss Project”. Target yang ditetapkan, pada tahun 2020 tingkat daur ulang industri makanan 95%, grosir 70%, retail 55%, dan catering 50%.

            Penyelamatan pangan (food rescue) di Jepang ini dalam kampanye dikaitkan dengan filosofi nilai moral yang populer di Jepang, yakni ”Mottainai”. Budaya masyarakat yang memberikan pesan, bahwa apabila melakukan perbuatan yang tidak menghargai suatu hal penting, sekecil apapun, adalah perbuatan ‘pamali’ yang memalukan. Sebutir nasi adalah hasil upaya kerja keras seorang petani; seekor ikan sekecil apapun adalah hasil kerja ulet seorang nelayan. Oleh karenanya, pangan yang masih bisa dimanfaatkan, jangan dibuang sebagai sampah

            Negeri di Asia lainnya, yakni Korea Selatan, bahkan melakukan reformasi pengelolaan sampah sejak tahun 1995, dan berhasil merubah sangat positif, berupa peningkatan daur ulang. Pola pungutan uang sampah yang semula membayar sistem rata-rata bulanan,-- seberapapun jumlahnya. Tidak memberikan efek pengurangan jumlah sampah yang dibuang, bahkan bertambah banyak, termasuk sisa pangan.

            Melihat kondisi demikian, dilakukan inovasi menetapkan Municipal Solid Waste (MSW), yakni termasuk pembayaran uang sampah berdasarkan berat sampah yang dibuang. Hal ini bisa diartikan bahwa bahwa biaya pengolahan sampah dibebankan kepada pihak pembuang sampah. Untuk yang didaur ulang, tidak dipungut biaya, atau gratis. Jenis sampah dipisahkan dengan wadah kantong plastik yang berlabel beda. Kantong plastik tersebut dapat diperoleh di toko terdekat. Dalam hal ini, sampah adai empat macam, yakni sampah makanan, sampah yang dapat didaur ulang, sampah kotor dan tercampur, serta sampah ukuran besar (misalnya peralatan rumah, dan sebagainya). Pembuang sampah dapat didenda maksimum satu juta won Korea, bila sengaja atau salah memasukkan sampah, tidak sesuai dengan standar.

            Pada tahun 1996 sampah yang didaur ulang meningkat 27%, jumlah sampah menurun 18%. Sebelumnya, tahun 1994 tingkat daur ulang hanya 15,4%. Di tahun 2014 telah meningkat menjadi 59%.

 

Reduksi FLW di Eropa

            Pengurangan FLW di negeri Barat banyak dilakukan berbasis pada sukarela. Bermula dari inisiasi Waste and Resources Action Programme (WRAP), yang dibentuk pemerintah Inggris, bekerjasama dengan Uni Eropa. Sustainable Development Goals—SDGs point 12.3 menargetkan pengurangan susut dan limbah pangan dunia pada tahun 2030 berkurang 50%. Di Inggris pada tahun 2018 telah berhasil menurunkan sebesar 27%, dibanding baselinenya tahun 2007.

            Strategi pemerintah Inggris untuk menurunkan susut dan sisa pangan antara lain menetapkan target serta dilakukan pengukuran secara periodik. Dilakukan berbagai kerjasama antara pemerintah, lembaga publik dan pihak swasta. Diberikan informasi dan pedoman yang jelas, disertai kampanye kepada masyarakat, dengan semboyan ”Love Food, Hate Waste”. Selanjutnya dilakukan inovasi promosi, pelabelan dan desain makanan. Langkah tersebut disertai dengan ketentuan teknis, misalnya pada kemasan ada penulisan tanggal kedaluwarsa yang jelas, kemasan berukuran kecil, tip cara menyimpan dan membekukan makanan, atau lainnya. Saat pandemi Gerakan ini melibatkan rumah-tangga dan masyarakat lainnya, bahkan berhasil menurunkan sisa pangan 34%.

            Pemerintah Inggris pada tahun 2018 meluncurkan Food Waste Reduction Roadmap. Pada tahun 2020, 210 perusahaan bergabung dalam kegiatan tersebut, dan 45 perusahaan diantaranya yang baru bergabung satu tahun, sudah berhasil mengurangi sisa pangan 17%, serta diperhitungkan dapat menghemat senilai 300 juta pundsterling.

           Negara Barat lainnya, seperti Belanda, Amerika Serikat, dan Italia, melakukan berbagai aktivitas sebagaimana yang dijalankan di Inggris, yakni bersifat sukarela. Hanya ada kegiatan yang lebih menonjol, yaitu mendorong dan membantu lembaga amal yang melakukan donasi pangan, atau food bank system. Organisasi masyarakat tersebut bekerjasama dengan restoran, hotel, atau industri pangan, guna mengumpulkan, mengemas dan menyalurkan pangan berlebih, namun masih berkualitas, diberikan kepada mitra kelompok masyarakat yang ekonominya kurang baik. Untuk mendorong kegiatan yang positif ini, pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada donator, serta penjaminan kualitas pangan yang dibagikan. Bahkan kegiatan donasi pangan ini melibatkan juga perguruan tinggi atau institusi penelitian, untuk mengkaji, mencatat, dan mendukung kegiatan ini. Pemerintah juga memberikan insentif berupa pengurangan pajak, terhadap swasta, perusahaan, atau pihak lainnya, yang aktif terlibat dalam kegiatan penyelamatan pangan.

            Perlawanan terhadap FLW yang menyelamatkan pangan melalui pengurangan susut dan limbah pangan, serta pemanfaatan sisa pangan yang masih layak dikonsumsi bagi warga yang membutuhkan, adalah hal yang baru dan unik. Lantaran nyata besar manfaatnya bagi gizi masyarakat, perekonomian, dan lingkungan serta perubahan iklim, maka wajib didukung segenap pihak.